Potret Wonosegoro
Potret Wonosegoro, Sebuah Desa di
Wilayah Kecamatan Bandar Kabupaten Batang Jawa Tengah. Sejak saya menjadi warga
Desa ini pertama kali sejak Mei 2015 hingga saat ini11 Juli 2018, kurang lebih
3 tahun berlalu sedikit banyak saya bisa memahami kondisi Desa ini. Waktu tiga
tahun ini saya banyak bersosialisasi di sini. Saya tinggal di RT 1 RW 1 Dukuh
Canang Wonosegoro. Tentunya saya lebih mengenal warga, masayarakat untuk lingkup
RT saya, walaupun saya juga mengenal warga lain di luar RT ini.
Jalan Raya Tulis-Bandar, termasuk
Desa Wonosegoro pada zaman dahulu adalah area yang rawan begal, ketika melewati
jalanan di sepanjang ini terutama di perbatasan Wonosegoro-Posong di malam
hari. Banyak cerita dari masayarakat setempat yang beredar. Saat pertama kali
saya menjadi warga Wonosegoro saya sempat takut ketika saya harus pulang pergi dari
dan ke Desa Wonosegoro di malam hari. Namun setelah saya lama dan terbiasa
melewati jalanan sepanjang Segayung-Wonosegoro ternyata berita mengenai begal
dan garong itu sama sekali hanya tinggal cerita. Di zaman sekarang ini sudah
tidak ada lagi praktik begal dan perampokan motor. Jika dulu ketika saya belum
kenal desa ini saat saya melewati Desa Wonosegoro tepatnya di daerah Mijen
Wonosegoro, di mana di situ di setiap tepi kanan kiri jalan terdapat pohon
asam. Saya terbayang cerita dari warga, katanya di malam hari ada begal yang
ingin merampok motor dengan cara memasang tali tambang sengaja dipasang di tepi
yang satu ke tepi yang berlawanan sehingga jika ada pengendara motor lewat akan
jatuh tersangkut tali itu sehingga para begal dapat merampas motor si
pengendara tadi. Namun sekarang ini daerah Mijen sudah terang benderang banyak
lampu di jalan apalagi sekarang ada pabrik kayu plywood, Peternakan ayam dan
basecamp, parbrik asphalt. Sekarang ini praktik begalisasi sudah tak ada lagi.
Berbicara tentang kondisi sosial
agama di desa ini, Desa ini terbilang religius karena terdapat sebuah pondok
salaf Al Minhaj. Di dalamnya juga terdapat pendidikan formal seperti SMP AL
Minhaj dan SMK Al Minhaj. Dengan adanya pondok ini diharapkan menjadi sentral
kegiatan keagamaan sekaligus menjadi institusi yang mendidik masyarakat menjadi
masyarakat yang agamis dan taat beragama. Di Desa Wonosegoro ini terdapat 2
Masjid, yang pertama Masjid Attaqwa yang terletak di Kompleks Balai Desa
Wonosegoro, di Dukuh Pandansari-Wonosegoro. Masjid ini terletak persis di Depan
TPQ dan TK Nusa Indah Wonosegoro Bandar. Masjid berikutnya terletak di Dukuh
Gamblok Wonosegoro. Mushola-mushola berjamuran di desa ini dan merupakan
sentral strategis dalam kegiatan keagamaan.
Namun demikian, selama saya
tinggal dan hidup di sini saya menilai Masyarakat Wonosegoro terutama di
lingkungan canang, khususnya saya melihat adanya kompetisi materis hedonis
merebak di sini. Sebagian berlomba-lomba menonjolkan kekayaan. Rumah,
perhiasan, Kendaraan, gaya hidup yang materistis. Terus terang saya merasa
risih ketika melihat wanita, ibu-ibu yang memakai perhiasan berlebihan. Ya
memang betul mereka kaya, mereka tajir tapi tidak seharusnya mereka memamerkan
kekayaannya. Anting, kalung, gelang tangan yang mencolok. Ajining rogo soko
busono pepatah jawa mengatakan. Bahwa Watak dan kharakter dari seseorang itu
terlihat dari busananya apakah dia orang yang rendah hati atau orang yang
tinggi hati. Memakai perhiasan yang berlebihan juga sebenarnya membahayakan
siempunya, karena dapat memancing adanya perampokan, penjambretan dan
sebagainya.
Walaupun terdapat pondok dan
Majlis taklim berjamuran di sini, akan tetapi sebagian besar masyarakat tidak
melaksanakan Islam sebagaimana mestinya. Sebagai contoh Sholat 5 waktu kerap
ditinggalkan untuk kepentingan duniawi. Sholat sepertinya hanya dijadikan
sebagai tradisi saja. Sholat tak terlalu penting bagi mereka. Sholat
dilaksankan manakala ada waktu senggang, jikalau sibuk sholat dapat
ditinggalkan. Sangat miris sekali kita sholat itu karena manusia dan lingkungan
bukan karena Iman Islam kita. Sholat itu hukumnya wajib dan tidak dapat
ditinggalkan kecuali ada udzur dan halangan yang logis. Jika kita terbawa
lingkungan ikut-ikutan tidak sholat lima waktu karena lingkungan berarti sama
saja kita tidak memiliki prinsip teguh. Kita terombang-ambing ke sana kemari. Yang
batil dianggap haq dan yang haq dianggap batil, ini tidak benar mencampur
adukan seperti itu. Jadilah pribadi yang seperti emas di manapun berada entah
itu di lumpur, di air, di tanah di mana saja tetap emas tak berubah bentuk dan
substansinya. Ia tetaplah emas. Mengabaikan sholat 5 waktu karena lingkungan,
ikut-ikutan lingkungan itu tidak benar. Kita di akhirat akan rugi besar meremehkan
sholat yang menjadi kepalanya amal yang akan dihisab pertama kali di akhirat.
Jika sholatnya bagus maka amal yang lain akan bagus dan sebaliknya.
Selain masalah sholat yang
diabaikan, di Wonosegoro Bandar ini menurut cerita warga, banyak
gerandong-gerandong keluyuran. Setiap kali ada event tertentu, proyek tertentu
mereka meminta sumbangan atau istilahnya pajak untuk kepentingan mereka dan
golongan mereka dan mengabaikan kepentingan desa dan masayarakat.
Kemudian, lanjut di desa ini
setahu saya ada juga tempat lokalisasi, kalau tidak salah berada di tengah
perkebunan tebu sebelah utara Desa Wonosegoro. Di tempat tersebut menurut
cerita benar atau salah terjadi praktik tindak asusial kumpul kebo.
Demikian sekelumit cerita sharing
dari saya selama saya tinggal di Desa Wonosegoro ini. Apa yang saya tulis hanya
dari sudut pandang saya saja, pendapat saya. Yang namanya pendapat itu lumrah,
jika terdapat hal-hal yang kurang pas saya sebagai admin penulis blog ini mohon
maaf yang sebesar-besarnya. Mohon koreksinya jika terdapat banyak kekeliruan.
Terima kasih.
0 Response to "Potret Wonosegoro"
Post a Comment